A.
Latar Belakang
Berakhirnya Perang
Dunia II menyebabkan kekuatan dunia terbagi atas duablok, yaitu Blok Barat
pimpinan Amerika Serikat dan Blok Timur pimpinan Uni Soviet. Blok Barat dan
Blok Timur tersebut saling bersaing berebut pengaruh dalam berbagai bidang
kehidupan manusia.
B.
Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan karya ilmiah ini yaitu tidak
lain dan tidak bukan adalah untuk mencerdaskan dan mengajak teman – teman
sekalian untuk mengetahui tentang apa saja yang telah terkandung dalam hubungan
perkembangan teknologi persenjataan dan ruang
angkasa dengan kondisi keamanan dunia pada perang dingin tersebut.
C. Rumusan masalah
Rumusan masalah yang akan kita terapkan pada karya ilmiah
ini adalah apa sebenarnya yang telah terjadi dalam hubungan perkembangan
teknologi persenjataan dan ruang angkasa dengan kondisi keamanan dunia pada
perang dingin tersebut ?
PEMBAHASAN
HUBUNGAN
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PERSENJATAAN DAN
RUANG ANGKASA DENGAN KONDISI KEAMANAN DUNIA
PADA
PERANG DINGIN
1. Perkembangan Teknologi Persenjataan
Persaingan yang paling
mencolok dalam masa Perang Dingin adalah dalam bidang militer, khususnya dalam
hal persenjataan. Kedua negara adidaya itu saling berlomba menciptakan berbagai
senjata yang mutakhir dan mematikan, misalnya bom. Bom adalah senjata ledak
yang lazim digunakan dalam perang. Terorisme juga melibatkan penggunaan bom.
Bom umumnya terdiri atas wadah logam yang diisi dengan bahan peledak atau bahan
kimia. Bom melukai dan menewaskan orang serta merusakkan gedung dan bangunan
lain, kapal, pesawat terbang, ataupun sasaran lain. Salah satu senjata yang
paling menakutkan dan dapat membantu mengakhiri Perang Dunia II adalah bom
atom. Senjata yang disebut bom atom itu dibuat pertama kali oleh Amerika
Serikat pada tanggal 16 Juli 1945 di Alamo Gardo, New Mexico. Bom atom itu
kemudian dipakai untuk menghancurkan kota Hiroshima pada tanggal 8 Agustus 1945
dan kota Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Akibat pemboman itu Jepang
menyerah dan berakhirlah Perang Dunia II. Bom dalam bentuk
apa pun apabila meledak akan menimbulkan kerugian pada manusia dan alam
sekitarnya. Tenaga atom yang ditimbulkan akan menimbulkan radiasi yang apabila
diterima dalam jumlah besar akan sangat fatal akibatnya. Debu radioaktif dan
endapan dari awan yang tertiup angin dan bertebaran di daratan dapat
mengakibatkan kerusakan pada tanaman serta membinasakan hewan dan manusia. Pada
jangka panjang ledakan bom atom akan mengakibatkan kematian serta kanker pada
manusia, sedangkan kerusakan genetis akan terlihat pada generasi-generasi
berikutnya.
Keberhasilan
Amerika Serikat dalam menciptakan bom atom, ternyata dalam waktu yang tidak
terlalu lama dapat diikuti oleh pesaingnya Uni Soviet. Pada tahun 1949 Uni
Soviet berhasil melakukan uji coba peledakan bom atomnya. Tentu saja
keberhasilan Uni Soviet itu menimbulkan kecemasan Amerika Serikat sehingga
negara tersebut berusaha mencari dan menciptakan bom tandingannya. Oleh karena
itu, Amerika Serikat segera melakukan penelitian tentang bom hidrogen.
Negara-negara
sekutu Amerika Serikat dan satelit Uni Soviet tidak lepas dari pengerahan teknologi
persenjataan itu. Negara-negara mereka dibangun basis militer dan pangkalan
peluncuran rudal hanya untuk ambisi dua adidaya dunia. Namun, apabila perang
terbuka itu benar-benar terjadi karena terkena akibatnya. Bahkan, dapat menjadi
sasaran langsung penghancuran padahal mereka tidak tahu-menahu permasalahan.
Oleh karena itu, kerja sama dalam bidang pertahanan dan keamanan merupakan
kerja sama yang paling mencolok dalam suasana Perang Dingin.
Upaya
meredakan Perang Dingin dengan mengurangi, membatasi, dan memusnahkan
persenjataan nuklir dilakukan pada kurun waktu 1968–1982. Bentuk persetujuan
yang dicapai, antara lain sebagai berikut.
a.
Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (Nonproliferation Treaty)
Perjanjian
Nonproliferasi Nuklir dilaksanakan pada tahun 1968 yang diikuti oleh negara
Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Soviet. Pertemuan itu menyepakati bahwa
mereka tidak akan menjual senjata nuklir atau memberikan informasi kepada
negara-negara nonnuklir.
b. Perjanjian Pembatasan Persenjataan Strategis
Perjanjian
SALT I ditandatangani oleh Richard Nixon, Presiden Amerika Serikat dan Leonid
Breshnev, Sekjen Partai Komunis Uni Soviet pada tanggal 26 Mei 1972. Pertemuan
kedua pemimpin negara adidaya itu menyepakati untuk:
1.
Pembatasan
terhadap sistem pertahanan antipeluru kendali (Anti-Balistic Missile=ABM)
2.
Pembatasan
senjata-senjata ofensif strategis, seperti Inter-Continental Ballistic Missile
(ICBM = Peluru Kendali Balistik Antarbenua) dan Sea-Launched Ballistic Missile
(SLBM = Peluru Kendali Balistik yang diluncurkan dari laut/ kapal).
c.
Perjanjian Pengurangan Persenjataan Strategis
Perjanjian
pengurangan persenjataan strategis dilakukan oleh Amerika Serikat dan Uni
Soviet pada tahun 1982. Perjanjian itu menyepakati bahwa kedua negara adidaya
akan memusnahkan persenjataan nuklir yang dapat mencapai sasaran jarak
menengah. Upaya menghindari
bahaya perang nuklir juga diadakan oleh negara-negara lain yang tidak memiliki
persenjataan nuklir. Negara-negara itu khawatir kawasan atau wilayahnya akan
menjadi sasaran ataupun salah sasaran akibat perang nuklir itu.
2.
Pengeksploitasian Ruang Angkasa Era Perang Dingin
a. Persaingan antara
Amerika dengan Uni Soviet
Teknologi penerbangan
antariksa terjadi ketika era Perang Dingin dan persaingan antara Amerika Serikat
dengan Rusia yang saat itu masih bernama Uni Soviet. Teknologi roket yang
merupakan dasar dari sistem penerbanan antariksa pada mulanya dikembangkan
untuk keperluan persenjataan. Bicara soal teknologi roket, kita tidak bisa
lepas dari nama Wehrner Von Braun, ilmuwan Jerman yang direkrut Hitler untuk
mengembangkan misil V2, sebuah peluru kendali dengan teknologi roket dalam masa
Perang dunia II. Saat perang usai, Von Braun hijrah ke AS dan membantu
pengembangan teknologi roket untuk kepentingan penerbangan antariksa di sana.
Namun demikian, entah mengapa, cetak biru V2 kemudian jatuh ke tangan Rusia,
dan digunakan oleh pihak rusia sebagai acuan untuk mengembangkan roketnya
sendiri. Kedua negara adidaya itu kemudian terlibat dalam persaingan sengit untuk
mengeksplorasi ruang angkasa.
Rusia unggul lebih
dahulu dengan keberhasilannya meluncurkan satelit buatan yang pertama di dunia
dengan nama Sputnik I pada 4 Oktober 1957. AS kemudian menyusul dengan
meluncurkan satelit pertamanya yang dinamai Explorer I pada 31 Januari 1958.
Pada 12 April 1961, Rusia kembali memimpin dengan meluncurkan manusia pertama
ke angkasa luar, Yuri Alekseyivich Gagarin, seorang mayor Agkatan Udara Rusia
yang meluncur dengan kapsul Vostok I. Kurang dari sebulan kemudian, AS meluncurkan
astronaut pertamanya, Alan B Shepard dengan kapsul Mercury 7. Peluncuran ini
dilakukan secara terburu-buru dengan teknologi yang belum sempurna sehingga
Alan B.Shepard hanya mampu mengangkasa selama 15 menit dengan ketinggian
maksimal 184 km, tertinggal dengan Yuri Alekseyivich Gagarin dari Uni Soviet
yang mencatat waktu 108 menit dan ketinggian maksimal 301,4 km dalam sekali
orbit.
Misi
Amerika Serikat sendiri sebenarnya hanyalah penerbangan naik-turun dan tidak
sampai mengorbit bumi. AS baru berhasil mengirimkan pesawat pengorbit pada 20
Februari 1962, ketika kapsul Friendship 7 yang diawaki oleh Letkol. John
Herschel Glenn berhasil melakukan 3 kali orbit dalam penerbangan selama 4 jam
56 menit. Tetapi prestasi ini masih kalah jauh dengan
kemajuan yang dicapai Rusia pada 6 bulan sebelumnya,
ketika Mayor German Stephanovich Titov berhasil mengorbit sebanyak 17 kali
dalam penerbangan selama 25 jam 18 menit dalam kapsul Vostok II.
Bulan
menjadi sasaran berikutnya dari kedua negara yang tengah bersaing itu. Rusia
mendahului dengan mengirim wahana tak berawak Lunik II pada 14 September 1959.
Wahana ini tercatat sebagai wahana buatan manusia pertama yang mendarat di
permukaan bulan. Sayangnya, Lunik II mendarat secara keras (hard landing),
dengan akibat seluruh peralatan yang dibawanya rusak sehingga tidak mampu
mengirimkan data apapun ke bumi. Rusia baru berhasil mendaratkan wahana yang
mampu melakukan pendaratan lunak (soft landing) pada Februari 1966 melalui
wahana Lunik IX.
Sedangkan
AS baru berhasil mengirimkan wahana untuk melakukan pendaratan lunak pada 1966.
Setahun kemudian, sebuah wahana AS lainnya berhasil mengirimkan gambar TV
pertama dari permukaan bulan. Puncaknya terjadi pada 17 Juli 1969, ketika Neil
Amstrong dan Edwin Aldrin berhasil mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai
manusia pertama yang menginjak permukaan
bulan melalui misi Apollo-11. Misi ini dilanjutkan dengan 5 pendaratan lainnya,
masing-masing Apollo-12 (November 1969), Apollo-14 (Februari 1971), Apollo-15
(Agustus 1971), Apollo-16 (April 1972), dan terakhir, Apollo-17 (Desember
1972). Misi Apollo juga pernah mencatat kegagalan, tepatnya menimpa misi
Apollo-13 yang mengalami kecelakaan (ledakan pada salah satu modulnya). Melalui
tindakan pertolongan yang legendaris, para awaknya dapat kembali dengan selamat
ke bumi walaupun gagal menjejak ke permukaan bulan.
Sementara
itu, Rusia tercatat pernah mengirimkan modul Lunkhod I pada 17 November 1970.
Modul ini berupa robot yang dikendalikan dari bumi. Namun demikian, sesudahnya
program antariksa Rusia di bulan tidak lagi berlanjut. Begitu pula dengan AS.
Setelah berakhirnya misi Apollo-17, AS tidak lagi mengirimkan manusia ke bulan.
Persaingan antara Amerika dengan Uni Soviet terus
berlanjut dalam bidang penguasaan ruang angkasa. Kalau sebelum era pesawat
ulang-alik, seluruh komponen antariksa bersifat sekali pakai. Maka akibatnya,
pengiriman misi berawak membutuhkan biaya yang sangat besar. Selain cara ini
juga sangat berisiko karena apabila terjadi kecelakaan dalam misi berawak di
ruang angkasa, mustahil untuk melakukan pertolongan. Musibah yang menimpa misi
Apollo 13 memberikan pelajaran bahwa misi berawak ke antariksa tidak lain
adalah sebuah petualangan yang penuh risiko. Atas pertimbangan itu, maka tahun
1970-an, NASA mulai mengembangkan pesawat ulang-alik. Misi ulang-alik dinilai
lebih ringan biayanya karena hampir seluruh komponennya dapat digunakan kembali
pada misi-misi sesudahnya. AS kembali mencatat sejarah dengan keberhasilannya
meluncurkan pesawat ulang-alik pertamanya, Columbia, pada bulan Juni 1981.
Dengan digunakannya teknologi ulang-alik, terbuka kesempatan untuk meluncurkan
misi berawak dengan frekuensi yang lebih sering dengan pembiayaan yang lebih
kecil.
Pesawat
ulang-alik Challenger yang meledak saat peluncuran 28 Februari 1986 dan
menewaskan ketujuh awaknya memang sempat membuat NASA merestrukturisasi kembali
program ulang-aliknya, khususnya dalam persoalan keamanan. Namun demikian,
teknologi ulang-alik sendiri tidak banyak berubah, bahkan selama lebih dari 20
tahun sejak pertama kali digunakan.
Puncaknya
terjadi pada peristiwa kecelakaan yang menimpa Columbia, 1 Februari 2003,
ketika pesawat tersebut meledak di udara sesaat setelah memasuki atmosfir bumi
dalam proses pendaratan. Peristiwa yang menewaskan tujuh awak tersebut kembali
membuka perdebatan mengenai keamanan serta kepentingan misi ulang-alik. Akibat
dari kecelakaan ini adalah dibekukannya program luar angkasa AS sambil mengkaji
kembali berbagai faktor dalam penerbangan ulang-alik, termasuk kemungkinan
digunakannya teknologi yang sama sekali baru, dengan efisiensi dan tingkat
keamanan yang lebih tinggi. Ada beberapa alternatif pengganti pesawat
ulang-alik yang saat ini sedang dikembangkan, walaupun masih belum jelas
teknologi mana yang kelak akan dipilih untuk menggantikan model peluncuran
pesawat ulang-alik. Sepeninggal Challenger dan Columbia, AS masih memiliki tiga
pesawat ulang-alik lain, yaitu Discovery, Atlantis, dan Endeavour, ditambah dengan
satu prototipe yang tidak pernah mengudara, Enterprise, yang kini menghuni
museum Smithsonian.
Sementara itu Uni Soviet juga tidak mau ketinggalan dengan
Amerika Serikat. untuk mengejar ketertinggalannya dari AS, Rusia tercatat juga
sempat mengembangkan pesawat ulang-aliknya sendiri yang diberi nama Buran, dari
bahasa setempat yang berarti Badai Salju. Tahun 1988, Buran sempat diujicoba
dalam sebuah penerbangan tanpa awak. Sayangnya, krisis politik maupun ekonomi
yang melanda Uni Soviet sesaat sebelum bubar membuat proyek Buran tersendat,
dan bahkan terhenti sama sekali sebelum sempat berkembang. ecahnya Uni Soviet
akhirnya juga membawa malapetaka bagi program antariksa Rusia. Pangkalan
peluncuran Rusia yang berada di Tyuratam (dikenal sebagai kosmodrom Baikonur)
kini telah masuk wilayah Kazakhstan, sebuah negara kecil yang secara ekonomi
tidak begitu makmur. Tentu saja pemerintah Kazakhstan tidak ingin membiarkan
begitu saja sebagian teritorinya dipakai secara gratis oleh negara Rusia untuk
kepentingannya sendiri. Pendeknya, pemerintah Kazakhstan menuntut pihak Rusia
untuk membayar ongkos sewa agar dapat terus menggunakan pangkalan tersebut.
Rusia terus melanjutkan program antariksa mereka dengan memanfaatkan stasiun
luar angkasa Mir. Tetapi karena kurangnya biaya ditambah lagi dengan
kondisi Mir yang memang sudah terlalu tua akhirnya membuat pemerintah Rusia
terpaksa memutuskan untuk mengakhiri riwayat stasiun kebanggaan mereka itu pada
bulan april 2001.
Ruang
angkasa memang terlalu luas untuk dieksplorasi oleh satu atau dua negara
tertentu saja. Dewasa ini, pemanfaatan luar angkasa dilakukan atas dasar kerja
sama, bukan lagi persaingan seperti pada awalnya. Kini, AS dan Rusia,
bersama-sama dengan negara-negara maju lainnya bahu-membahu mengembangkan Stasiun
Luar Angkasa Internasional (International Space Station) yang diharapkan kelak
menjadi pusat kegiatan eksplorasi antariksa secara lintas negara. Sementara
itu, teknologi roket juga tidak lagi merupakan monopoli AS atau Rusia. Tercatat
negara-negara seperti Jepang, India, Cina, dan Uni Eropa, juga telah berhasil
mengembangkan teknologi roketnya sendiri. Rencana Cina untuk meluncurkan misi
berawak ke antariksa kiranya akan menorehkan sejarah baru dalam dunia
penerbangan antariksa.
b. Perkembangan di Cina
Dalam
Perkembangan berikutnya Cina berhasil untuk mengirimkan manusia ke orbit. Roket
Long March 2F yang membawa kapsul Shenzhou V akhirnya meluncur dari landasan
pusat antariksa Cina di Jiauquan, Provinsi Gansu, mencatatkan Yang Liwei
sebagai taikonaut (sebutan Cina untuk astronaut) pertama. Ia kembali ke bumi
dengan selamat pada keesokan harinya setelah menjalani 16 kali orbit dalam misi
yang memakan waktu 21 jam itu. Kapsul Shenzhou merupakan modifikasi dari kapsul
Soyuz yang dikembangkan oleh Rusia. Sebagaimana halnya Soyuz, Shenzhou terdiri
atas modul komando (command module) yang ditautkan dengan sebuah modul jasa
(service module). Modul jasa yang memuat mesin roket dan peralatan penunjang
pada Shenzhou hampir identik dengan modul serupa pada Soyuz. Perbedaan yang
agak mencolok bisa dilihat pada modul komando, yang merupakan tempat para awak
melakukan tugasnya. Modul komando pada Soyuz didesain berbentuk bola, sementara
di Shenzhou berbentuk seperti lonceng. Di ujung modul komando Shenzhou
ditautkan sebuah perangkat ilmiah yang akan dilepas di orbit. Perangkat ini
masih akan mengorbit hingga enam bulan setelah
peluncuran. Tidak jelas apa fungsi peralatan ini.
Kemungkinan
adalah satelit yang memang ditumpangkan pada misi tersebut.
Roket Long March 2F sebagai kendaraan peluncur adalah
hasil pengembangan para ilmuwan Cina sendiri. Ini adalah sebuah roket
konvensional bertingkat tiga, dengan empat roket tambahan pada tingkat pertama
yang berfungsi sebagai booster. Di pihak lain, Soyuz diluncurkan dengan bantuan
roket energinya. Roket ini tidak memakai booster, namun tingkat pertamanya
terdiri atas empat roket yang bekerja secara simultan dengan daya yang sama.
Sistem ini menghasilkan gaya dorong yang cukup powefull sehingga hanya
diperlukan dua tingkat pada roket untuk meluncurkan muatan ke orbit. Teknologi
roket yang dimiliki Rusia ini memang masih belum bisa ditiru oleh negara lain.
Oleh karena itulah Rusia juga sering mendapat kepercayaan untuk meluncurkan
muatan berat ke orbit, termasuk modul-modul inti dari Stasiun Ruang Angkasa
Internasional (International Space Station, ISS). Indonesia sendiri pernah
memanfaatkan jasa roket Rusia untuk meluncurkan satelit Garuda-1 yang memang
tergolong satelit berukuran besar. Cina sudah merancang untuk mengirimkan
misi-misi lanjutan, di antaranya rencana untuk menempatkan stasiun ruang
angkasanya sendiri, bahkan mengirim misi berawak ke bulan. Tapi keberhasilan
Cina meluncurkan misi berawak sepertinya berhasil menyadarkan bangsa-bangsa
Asia bahwa mereka tidak lagi bisa dipandang remeh.
c. Perkembangan di Indonesia
Indonesia
belum pernah terlibat secara langsung dalam eksplorasi ruang angkasa, tetapi
Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup disegani karena pengalamannya
dalam mengeksploitasi teknologi keantariksaan. Saat penggunaan satelit bagi
sebagian besar negara masih sangat jarang, Indonesia telah meluncurkan
satelitnya yang pertama, Palapa A1 pada 9 Juli 1976. Ini mencatatkan Indonesia
sebagai negara ketiga di dunia setelah AS dan Canada yang menggunakan satelit komunikasi
domestiknya sendiri. Indonesia juga sudah memanfaatkan jasanya untuk
meluncurkan satelit Palapa generasi kedua, Palapa B1, pada 19 Juni 1983.
Operasi penyelamatan satelit Palapa B2, menyusul kegagalan pada peluncurannya
yang juga dilakukan oleh misi ulang-alik merupakan operasi bersejarah yang
kerumitannya boleh ditandingkan dengan operasi perbaikan teleskop antariksa
Hubble pada dasawarsa 90-an. Pada pertengahan era 1980-an, Indonesia bahkan
sempat menyiapkan astronautnya untuk mengikuti misi ulang-alik tetapi karena
terjadi bencana Challenger misi ini dibatalkan.
Dalam
teknologi peroketan, Indonesia tercatat sebagai negara kedua di Asia, setelah
Jepang, yang berhasil meluncurkan roketnya sendiri. Prestasi ini dihasilkan
melalui keberhasilan LAPAN meluncurkan roket Kartika 1 pada 14 Agustus 1964.
Keberhasilan ini juga tidak lepas dari bantuan teknis dari Rusia. Akan tetapi
Indonesia gagal melakukan alih-teknologi. Akibatnya, selama lebih dari
seperempat abad sejak meluncurkan satelit pertamanya, Indonesia hanya bisa
bertindak sebagai konsumen. Sementara itu, negara-negara lain justru mulai
menyiapkan diri untuk mulai belajar mengembangkan teknologi satelit melalui
pembuatan satelit mikro (mikrosat). Malaysia misalnya, yang semula tertinggal
puluhan tahun dari Indonesia dalam pemanfaatan teknologi satelit, sejak tahun
2000 telah berhasil meluncurkan satelit mikronya yang pertama, Tiungsat-1, yang
merupakan hasil kerja sama dengan Universitas Surrey, Inggris. Sementara itu,
Indonesia baru mulai berancang-ancang membuat satelit mikronya pada tahun 2003
ini melalui kerja sama dengan Universitas Berlin, Jerman. Program yang
dilaksanakan dalam dua tahap selama lima tahun hingga 2007 itu, sekarang masih
memasuki tahap pertama yang direncanakan selama tahun 2003-2004. Dalam bidang
teknologi roket pun juga kurang berhasil. Akibatnya, pengem- bangan teknologi
roket di Indonesia terhenti, sementara negara-negara Asialain, seperti India
dan Cina, yang lebih belakangan menekuni teknologi ini akhirnya melampaui Indonesia
dengan keberhasilannya meluncurkan roket pengangkut satelit ke antariksa.
Indonesia
sebenarnya memiliki potensi yang jarang dimiliki negara lain untuk
mengembangkan teknologi antariksanya sendiri. Potensi itu berupa garis
katulistiwa yang membentang di atasnya. Sekitar 13% dari garis katulistiwa
berada di atas wilayah Indonesia. Dengan demikian, Indonesia tercatat sebagai
negara pemilik garis katulistiwa yang terpanjang di dunia. Hal ini menjadikan
wilayah Indonesia sebagai tempat yang sangat ideal untuk menjadi lokasi
peluncuran roket pengangkut satelit. Peluncuran roket dari dekat garis
katulistiwa akan lebih menghemat bahan bakar roket, dan karenanya lebih murah
dari segi biaya. Potensi inilah yang juga diminati oleh pihak asing. Rusia
misalnya, sudah lama mengincar Pulau Biak di Irian Jaya (Papua) untuk menjadi
lokasi bandar antariksanya. Tapi karena kita kurang cepat menanggapi tawaran
itu, Akibatnya, Rusia akhirnya memilih Pulau Christmast di Australia sebagai
lokasi bandar antariksanya.
Selain
Rusia, sebuah perusahaan swasta AS juga pernah amat tertarik dan bersedia
menanam investasi untuk menjadikan Biak sebagai lokasi peluncuran roket.
Rencananya, roket yang akan dioperasikan dari jenis berbahan bakar padat,
diangkut melalui laut dari pantai timur AS ke dermaga bandar antariksa Biak.
Alternatif lain, bagian-bagian roket diterbangkan dan mendarat di bandar udara
Frans Kasiepo Biak, kemudian diangkut melalui darat ke tempat peluncuran.
Rencana
inipun gagal dengan sebab-sebab yang tidak jelas. Satu-satunya pihak asing yang
telah memanfaatkan potensi Biak adalah Badan Ruang Angkasa India (Indian Space
Research Organization, ISRO) yang telah bekerja sama dengan LAPAN untuk
membangun stasiun TT&C (Tracking, Telemetry, and Command) di sana. Stasiun
ini menjadi penting karena saat India meluncurkan roket pengangkut satelitnya,
proses pelepasan muatan roket dilakukan di atas angkasa Irian, dan satu-satunya
stasiun bumi yang bisa memonitor dan mengendalikan proses ini hanyalah stasiun
di Biak.
Pengembangan
teknologi keantariksaan memang bukan prioritas di Indonesia. Tapi paling tidak,
kita masih memiliki harapan untuk menuju ke arah sana. Indonesia sebenarnya
tidak kekurangan orang-orang pintar. Tetapi yang kurang sebenarnya adalah
kemauan politis (political will) dari pemerintah. Hal ini tentu tidak boleh
menyurutkan semangat kita untuk terus belajar dan mengejar ketertinggalan dalam
bidang teknologi dari negara-negara yang lebih maju.
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam
hubungan perkembangan teknologi persenjataan dan ruang angkasa dengan kondisi
kemanan dunia pada perang dingin ini banyak dilalui oleh beberapa perjanjian
dan juga perkembangan dari beberapa negara yaitu :
- Perjanjian Nonproliferasi Nuklir
- Perjanjian Pembatasan Persenjataan Strategis
- Perjanjian Pengurangan Persenjataan Strategis
- Persaingan
antara Amerika dengan Uni Soviet
- Perkembangan
di Cina yang begitu pesat
- Perkembangan
di Indonesia