a. Latar Belakang
Dalam dunia ini perkembangan dunia
pers sangatlah pesat dan sangatlah tidak terbendung. Dibelahan Negara manapun
terdapat pers, yang memenuhi kebutuhan masyarakat akan kebutuhan informasi,
yang dapat diakses secara cepat dan tanpa mengeluarkan biaya yang banyak.
Pers tidak muncul begitu saja tanpa
ada sebab dan histori. Tentunya lahirnya sesuatau dilatar belakangi oleh suatu
histori. Dalam artikel ini saya akan mengangkat judul Perkembangan Pers
di Indonesia dan di Dunia. Didalam artikel ini akan dijelaskan beberapa
perkembangan di dunia pers disertai dengan teori yang mendasari akan
perkembangan perkembangan tersebut.
b. Rumusan masalah
- Apakah yang dimaksud tentang pers?
- Bagaimanakah perkembangan pers di Dunia?
- Bagaimanakah perkembangan pers di Indonesia?
- Perkembangan pers yang bagaimanakah yang dianut oleh Indonesia?
c. Tujuan
- Agar mengetahui bagaimana pengertian pers yang sebenarnya.
- Untuk bisa dipahami bagaimana perkembangan pers yang sebenarnya, yang dianut oleh berbagai Negara.
Falsafah
Pers di Indonesia dan di Dunia
Pengertian Pers
Sebelum kita masuk kedalam falsafah
pers, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian dari pers. Apa yang
dimaksud dengan pers? Pers berasal dari perkataan Belanda pers yang
artinya menekan atau mengepres. Jadi, secara harfiah kata pers atau pres yang
apabila kita mengacu kepada perngertian komunikasi yang dilakukan dengan
perantaraan barang cetakan. Namun sekarang kata pers pres ini digunakan untuk
merujuk semua kegiatan jurnalistik, terutama kegiatan yang berhubungan dengan
menghimpun berita, baik oleh wartawan media cetak maupun media elektronik.
Berdasarkan uraian diatas, ada dua
pengertian mengenai pers, yaitu pers dalam arti sempit dan pengertian pers
dalam arti kata luas. Pers dalam arti sempit yaitu yang menyangkut tentang
komunikasi yang hanya dilakukan dengan perantara barang cetakan, dalam hal ini
komunikasi hanya dilakukan dengan barang cetakan, contohnya adalah: Koran.
Sedangkan dalam arti kata luas pengertian pers lebih mengacu kepada komunikasi
yang dilakukan dengan perantara media cetakan dan media elektronik seperti
radio, televise maupun internet. Dalam penggunaan istilah pengertian arti
sempit dan luas dapat diganti dengan pngertian kata yang lain, tergantung
konteksnya.
Falsafah Pers di Indonesia dan di
Dunia
Sebelum kita masuk kedalam teori
perkembangan pers didunia maka kita haruslah mengetahui bagaimana falsafah
pers.
Seperti juga Negara yang memiliki
falsafah, pers pun memiliki falsafahnya sendiri. Falsafah atau dalam bahasa
inggris philosophy salah satu artinya adalah tata nilai atau
prinsip-prinsip untuk dijadikan pedoman dalam menangani urusan-urusan praktis.
Dalam membicarakan falsafah pers, terdapat sebuah buku klasik akan hal ini,
yaitu Four Theories of the Press (empat teori tentang pers) yang ditulis
oleh Siebert bersama Peterson dan Schramm dan diterbitkan oleh universitas
Illinois pada tahun 1956. dari karya ini, pada tahun 1980, muncul “teori” baru
tentang Rivers, Schramm dan Christians dalam buku mereka berjudul Responsibiliti
in Mass Communication.
Baik Sibert dkk, maupun Rivers dkk.
pada prinsipnya mewakili pandangan Barat yang pada dasarnya mengembangkan tiga
cara dalam mengaitkan pers dan masyarakat.ketiga cara tersebut masing-masing
melibatkan definisi yang berlainan tentang manusia, tentang Negara, tentang
kebenaran dan tentang perilaku moral. Hanya saja bagi Sibert dkk, ketiga cara
tersebut merupakan landasan lahirnya empat teori tentang pers atau Four
Theories of the Press (empat teori tentang pers).
Four Theories of the Press (empat teori tentang pers) yang
masih sangat besar pengaruhnya itu memaparkan pandangan normative Sibert dkk.
tentang bagaimana media berfungsi dalam berbagai lapisan masyarakat.
Teori Perkembangan Pers di Dunia.
Teori pertama dalam Four Theories
of the Press Four (empat teori tentang pers) yakni, authoritarian Theory
(teori pers otoriter) yang diakui sebagai teori pers paling tua bersal dari
abad ke 16, ia berasal dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan absolute
jadi pada dasarnya pendekatan dilakukan dari atas ke bawah. Yang dimaksud
dengan pendekatan dari atas kebawah adalah pendekatan yang dilakukan oleh yang
berkuasa terhadap masyarakat biasa, yang mana pada keadaan ini masyarakat biasa
tidak dapat berbuat apapun, kebebasannya dirampas dan tidak bisa mengutarakan
aspirasinya. Jadi disini dimaksudkan pers harus mendukung kebijakan pemerintah
dan mengabdi kepada Negara. Yang mana pemerintah bebas melakukan intervensi
terhadap pers, dan pers tidak berhak dan bahkan tidak dapat untuk
mengintervensi pemerintah dikarenakan pemerintah berkuasa penuh atas pers. Yang
pentng dicatat juga prinsip authoritarian Theory (teori pers otoriter)
adalah bahwa Negara memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada individu dalam
skala nilai kehidupan sosial. Teori ini berawal di Inggris, Perancis dan Spanyol
dan kemudian menyebar ke Rusia, Jerman, Jepang dan Negara-negara lain di Asia
dan Amerika Latin
Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa
authoritarian Theory (teori pers otoriter) adalah bahwa Negara memiliki
kedudukan lebih tinggi dari pada individu dalam skala nilai kehidupan sosial.
Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh Negara kita sendiri Indonesia. Pers
di Indonesia pada jaman pemerintahan orde baru atau rezim Soeharto pers disaat
itu adalah pers yang otoriter, pers tidak berhak untuk mengomentari kebijakan
presiden akan tetapi pers haruslah selalu mendukung kebijakan kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam masa itu pers sangat tidak berkembang dan
informasi yang disampaikan pun tidak trasparan dan tidak dapat secara gamblang
diketahui oleh masyarakat. Apabila pers melawan maka pemerintah langsung akan
bertindak.
Itulah gambaran authoritarian
Theory (teori pers otoriter), yang terdapat di Indonesia pada masa era
Soeharto didengung-dengungkan adanya pers yang bertanggung jawab namun yang
sesungguhnya dipraktekkan tetap system pers yang otoriter karena masih adanya
lembaga SIUPP (surat izin penerbitan pers) dan pembreidelan, sehinggan nampak
jelas bahwa tanggung jawab itu pada penguasa bukan kepada pablik.
Pers yang bebas dan bertangggung
jawab pada rezim orde baru tidaklah sama dengan pers yang bebas dan
bertangggung jawab seperti di Amerika Serikat diawali sejak tahun 1956.
Teori yang kedua adalah Libertarian
Theory (Teori Pers Bebas). Ketika kebebasan politik, agama dan ekonomi
semakin tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya pencerahan maka tumbuh pula tuntutan
akan perlunya kebebasan pers. Dalam keadaaan seperti itulah lahir teori baru
yaitu Libertarian Theory (Teori Pers Bebas) teori ini mencapai puncaknya
pada abad ke 19. Dalam teori ini manusia dipandang sebagai makhluk rasional
yang dapat membedakan antara yang benar dan tidak benar. Pers harus menjadi
mitra dalam upaya pencarian kebenaran dan bukan sebagai alat pemerintah. Jadi
tuntutan bahwa pers mengawasi pemerintah berkembang berdasarkan teori ini.
Dari sini kita dapat melihat suatu
perkembangan pers antara abad 16 ke 19, pada perkembangan teori ini pers tidak
lagi diintervensi oleh pihak manapun termasuk pihak yang berkuasa atau yang
disebut pemerintah. Akan tetapi pers mempunyai hak untuk mengawasi kegiatan
pemerintahan. Mau tidak mau pemerintah harus transparan dalam segala informasi
terhadap pers.
Libertarian Theory (Teori Pers Bebas) ini memang paling
banyak memberikan landasan kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Oleh karena
itu, pers bebas juga memberikan informasi, memberikan hiburan dan paling banyak
terjual tiras. Dibalik ketiga keuntungan itu pers bebas juga paling sedikit
berbuat kebajikan menurut ukuran umum dan sedikit melakukan control kepada
pemerintah.
Sistem pers libertarian dipraktikkan
di Inggris setelah tahun 1668, kemudian menyeberang ke Amerika Serikat, bahkan
ke seluruh dunia. Teori ini kebalikan dari authoritarian Theory (teori
pers otoriter)
Teori yang ketiga yaitu social
responsibility theory (teori pers bertanggung jawab sosial) disini saya
berasumsi bahwa prinsip-prinsip teori pers libertarian terlalu menyederhanakan
persoalan terutama menentukan fakta-fakta apa saja yang boleh disiarkan kepada
publik dan dalam versi apa. Teori pers bertanggung jawab sosial yang ingin
mengatasi kontradiksi antara kebebasan media massa dan tanggung jawab sosialnya
ini di formulasikan secara jelas sekali pada tahun 1949 dalam laporan
“commission on the freedom of the press” yang diketahui oleh Robert Hutchins.
Yang menganut teori ini adalah Amerika Serikat.
Komisi yang selanjutnya terkenal
dengan sebutan Hutchins commission
ini mengajukan 5 persyaratan sebagai syarat bagi pers yang bertanggung jawab
kepada masyarakat. Lima persyaratan tersebut adalah :
- Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya, lengkap, dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna. Dalam hal ini media harus menyajikan informasi kepada masyarakat dan informasi tersebut tidak boleh berbohong dan harus disertai dengan bukti otentik. Informasi yang disampaikan pun harus disampaikan dengan lengkap, tidak boleh di tambah atau dikurangi (obyektif). Informasi yang disampaikan juga harus memberikan makna dan manfaat. Media harus akurat, harus bisa memisahkan antara fakta dan opini, harus melaporkan dengan cara yang memberikan arti secara internasional.
- Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik. Disini media harus menjadi sarana umum, lahan untuk mengutarakan gagasan dan juga tempat untuk menyanggah atau lebih tepatnya lagi dipakai untuk sarana berdiskusi. Dalam masyarakat harus diwakili; media harus mengidentifikasi sumber informasi mereka karena hal ini perlu bagi sebuah masyarakat yang bebas.
- Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat itu. Ketika gambaran-gamabran yang disajikan media gagal menyajikan suatu kelompok sosial dengan benar, maka pendapat disesatkan; kebenaran tentang kelompok manapun harus benar benar mewakili; ia harus mencakup nilai – nilai dan aspirasi-aspirasi kelompok, tetapi ia tidak boleh mengecualikan kelemahan kelemahan dan sifat-sifat buru kelompok.
- Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat. Dalah hal ini media harus memberikan informasi tentang tujuan dan nilai nilai masyarakat agar masyarakat bisa menyampaikan cita citanya dan nilai yang ada. Media adalah sebagai instrument pendidikan, mereka harus memikul suatu tanggung jawab untuk menyatakan dan menjelaskan cita-cita yang diperjuangkan oleh masyarakat.
- Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi-informasi yang tersembunyi pada suatu saat. Berita ataupun informasi yang didapatkan oleh media harus disampaikan secara luas dan disampaikan dengan cepat, agar semualapisan masyarakan dapat merasakan semua informasi. Masyarakat sangat membutuhkan pendistribusian informasi secara luas.
Teori yang keempat yaitu The
Soviet Communist Theory (teori komunis), baru tumbuh 2 tahun setelah
revolusi Oktober 1917 di Rusia dan berakar pada teori pers penguasa atau teori authoritarian
theory. System pers ini menopang kehidupan sistem sosialis Soviet Rusia dan
memelihara pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap segala kegiatan
sebagaimana biasanya terjadi dalam kehidupan komunis. Oleh karena itu
Negara-negara yang dibawah payung kekuasaan Uni Republik Sosialis Soviet
tidak terdapat pers bebas , yang ada hanya pers pemerintah
Perkembangan Pers di Dunia
Sebelum bubarnya Negara Uni Republik
Sosialis Soviet, kita bisa dengan mudah membedakan sistem pers dalam dua
kelompok besar: Pers Barat yang menganut teori pers bebas atau liberal
dan Pers Timur yang menganut pers komunis. Pers Barat di wakili
oleh Amerika dan Negara-negara sekutunya di Eropa Barat. Karena Amerika adalah
pencetus teori tanggung jawab sosial atau dikenal pula sebagai komisi kebebasan
pers (1942-1947) Sedangkan Pers Timur diwakili oleh Uni Soviet dan
negara-negara satelitnya di Eropa Timur
Tetapi, sejak bubarnya Negara Uni
Soviet, dan sistem politik Negara-negara Eropa Timur yang menganut paham
komunis itupun ikut berubah, maka dikotomi antara Pres Barat dan Pers Timur itu
kiranya sudah tidak relevan lagi.
Sistem Pers Timur berbeda sekali
dengan sistem Pers Barat bahkan sangat bertentangan. Karena dalam sistem Pers
Timur, berita tidak dipandang sebagai barang dagangan. Maksud dari berita tidak
dipandang sebagai barang dagangan disini adalah bahwa berita bukan untuk pemuas
nafsu rasa ingin tahu namun berita adalah keharusan ikut berusaha mengorganisasikan
pembangunan dan pemeliharaan Negara sosialis
Sedangkan Pers Barat memandang
berita sebagai barang yang dapat diperjual belikan maka itu berita yang di
sampaikan pada khalayak harus menarik.
Perkembangan Pers di Indonesia
Sejak 17 Agustus 1945 sampai 5 juli
1959 Presiden Soekarno dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945, pers pada
saat itu menggunakan sistem yang mirip dengan sistem barat, sekalipun pada
awalnya sebagai “Pers perjuangan” mendapat banyak bantuan dari pihak
pemerintah.
Sejak 5 juli 1959 sampai 0ktober
1965 di bawah pimpinan Presiden Soekarno Indonesia di jalankan dengan sistem
demokrasi terpimpin. Pada saat itu sruktur politik dan kemasyarakatan Indonesia
berubah secara mendasar. Struktur politik yang baru ini membawa pula perubahan
dalam sistem pers kita.
Pada saat itu lenbaga SIT ( Surat
Izin Tjetak) merupakan yang pertama kali dipakai di Indonesia sejak masa
penjajahan Belanda. Dalam buku Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers Di
Indonesia menuturkan bahwa gubernur Jendral Hindia- Belanda 1920 meminta
nasihat pada Dewan Hindia untuk memberlakukan sistem lisensi (ijin terbit) bagi
pers Hindia-Belanda di tolak. Dewan menolak karna, kebebesan pers adalah
sebagai akibat kebebasan hati nurani yang tak dapat dipisahkan dengan kehidupan
masyarakat yang ada, sehingga tidak dapat dihalangi.
Selama rezim Soekarno pers Indonesia
seakan-akan menganut sistem pers bertanggungjawab sosial, namun pada
kenyataannya yang di jalankan adalah sistem pers otoriter terselubung. Berita
tidak lagi dinilai harus menarik tetapi harus memiliki tujuan yang sejalan
dengan cita-cita bangsa untuk menyelesaikan revolusi nasional.
Selama pemerintahan orde lama di
bawah demokrasi terpimpinnya Soekarno itu, kebebasan pers benar-benar di
pasung. Pada masa ini kebebasan pers hanya angan-angan belaka, surat kabar
setiap harinya hanya memuat pidato-pidato para pejabat.
Pada 1 Oktober 1965, sehari setelah
meletusnya peristiwa G30S PKI, sistem dan kehidupan politik di Indonesia
mengalami perubahan lagi. Tetapi perubahan politik yang terjadi hanya mengubah
sistem pers kita dari sistem pers yang terselubung ke sistem pers yang
terang-terangan di bawah kuasa Jenderal Soeharto yang diangkat menjadi Presiden
RI ke 2 pada tahun 1967. Beliau mecanangkan untuk melaksanakan UUd 1945 secara
murni dan konsekuen.
Di bawah orde baru ini, pemerintah
Indonesia benar-benar menganut sistem pers otoriter yang keras, sekeras rezim
sebelumya. Karena apabila suatu media tidak mematuhi peraturan yang di tetapkan
pada saat itu maka pemerintah dapat mencabut SIUPP ( Surat Ijin Usaha
Penerbitan Pers) media bersangkutan. Setelah bangsa Indonesia memasuki era
reformasi sejak dilengserkannya Soeharto dari tahta kepresidenan pada tanggal
21 Mei 1998, sistem pers Indonesia kembali ke keadaannya ketika kita berada di
era 1945 – 1959. Pad masa itu sedikit banyak kebebasan untuk berpikir dan tidak
di batasi oleh rambu-rambu sensor atau larangan-larangan, meskipun pada tahun
1957 mulai muncul lembaga SIT di Jakarta.
B. J. Habibie yang pada saat itu
menggantikan Soeharto sebagai Presiden boleh dikatakan presiden RI pertama yang
giat membuka untuk menadi Indonesia yang bersistem Demokrasi. Sejak itu pers
Indonesia kembali ke sistem pers ketika egara ita menganut sistem demokrasi
Parlemen pada tahun 1950an, yaitu sistem pers Liberal Barat. Kebebasan pers
pada masa sekarang ini menganut kebebasan pers yang bertanggung jawab dibawah
kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kebebasan pers disini dimaksudkan
perpaduan yang ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa
untuk tidak berbuat yang semena-mena sesuai dengan kemampuan dan kekuatan serta
kekuasaan media masa.
PENUTUP
Kesimpulan
Didalam perkembangan pers yang ada
di dunia, Sistem Pers Timur berbeda sekali dengan sistem Pers Barat bahkan
sangat bertentangan. Karena dalam sistem Pers Timur, berita tidak dipandang
sebagai barang dagangan. Kemudian didalam perkembangan pers yang ada di
Indonesia, Selama pemerintahan orde lama di bawah demokrasi terpimpinnya
Soekarno itu, kebebasan pers benar-benar di pasung. Pada masa ini kebebasan
pers hanya angan-angan belaka, surat kabar setiap harinya hanya memuat
pidato-pidato para pejabat.
DAFTAR
PUSTAKA
Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama
Kusumaningrat, Jurnalistik – Teori dan Praktik, cet. IV, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2009.
Internet:
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama
Kusumaningrat, Jurnalistik – teori dan praktik, (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2009), hlm 17
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama
Kusumaningrat, Jurnalistik – teori dan praktik, (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2009), hlm 17
F Sibert, T. Peter Son, dan
Wilbur Schramm, Four Theories of the Press Four, Urbana, III. 1956
William L. Rivers Wilbur Schramm dan
Cilifford G. Christian S, Responsibility in mass communication, Third
edition, Harper dan Roww, publication, New York, 1980
William L. Rivers Wilbur Schramm dan
Cilifford G. Christian S, Responsibility in mass communication, Third
edition, Harper dan Roww, publication, New York, 1980
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama
Kusumaningrat, Jurnalistik – teori dan praktik, (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2009), hlm 20
John C. Merril, Journalism Ethics – Philosophical
Foundations for News Media, St. Martin’s Press, New York, 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar