PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Seperti yang telah kita ketahui
bersama bahwa Reformasi merupakan suatu generasi orde selanjutnya setelah adanya
orde baru dan juga orde lama. Dimana
pada masa reformasi ini sangat begitu banyak perubahan dari perkembangan Negara
Kesatuan Republik Indonesia ini.
Pada masa reformasi ini terdapat
begitu banyak fenomenal yang terjadi. Pada kesempatan kali ini kita akan
membahas salah satu fenomenal pada masa reformasi tersebut yaitu Fenomenal
Aktual dalam Masyarakat. Maka dari itu pada kesempatan kali ini kita akan
mengupas habis mengenai Fenomenal Alam Dalam Masyarakat Sejak Reformasi.
B. TUJUAN
Adapun tujuan dari pembuatan makalah
ini yaitu tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mencerdaskan dan mengajak
teman – teman sekalian untuk mengetahui tentang apa saja yang telah terjadi
pada masa reformasi tersebut.
C. RUMUSAN
MASALAH
Rumusan masalah yang akan kita
terapkan pada makalah ini adalah apa sebenarnya yang telah terjadi pada
fenomenal aktual dalam masyarakat sejak reformasi tersebut ?
FENOMENAL AKTUAL MASYARAKAT
SEJAK REFORMASI
A.
Pancasila sebagai Wujud Modal Sosial Bangsa
Modal sosial (social capital) bisa dikatakan sebagai
kelompok individu atau grup yang digunakan untuk merealisasi kepentingan
manusia. Kalau mau didefinisikan sebagai satu kata maka trust (kepercayaan)
adalah kata yang bisa mempresentasikan kondisi tersebut (Konioko dan Woller,
1999). Sedangkan James Coleman sebagaimana yang dikutip oleh Francis Fukuyama
dalam bukunya Trust: The Social and Creation of Prosperity (1995)
mendefinisikan modal sosial sebagai kemampuan masyarakat bekerja sama untuk
mencapai tujuan bersama di dalam berbagai kelompok organisasi.
Trust (kepercayaan) sangat diperlukan dalam kehidupan
bermasyarakat, hal ini dikarenakan kepercayaan bersifat fundamental. Bahkan
dapat dikatakan kualitas relasi sosial terletak pada sejauh mana nilai
fundamental itu mendapat perhatian. Ketika sebuah nilai kepercayaan itu hilang
maka yang timbul adalah perpecahan yang sifatnya mendarah daging. Sangat jelas
bahwa kepercayaan menyentuh sendi kehidupan yang paling mendasar dari sisi
kemanusiaan baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial.
Sebagai bahan analisis yang menjadikan kepercayaan itu
merupakan sebuah faktor utama dari pelaksanaan Pancasila, sebut saja 4 (empat)
pilar kehidupan berbangsa. Antara lain Pancasila, UUD NRI 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika. Empat pilar tersebut
ibaratkan sebuah kepercayaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa yang rukun
dan tanpa adanya sebuah keganjalan seperti konflik dan sebagainya. Namun sebuah
fenomena dan kelangsungan dari perjalanan reformasi memberikan ruang bagi para
masyarakat yang tidak mengerti akan hal tersebut, sehingga disini rawan
terjadinya konflik di dalam masyarakat itu sendiri.
Konflik yang sering terjadi di Indonesia merupakan konflik
yang sebagian besar disebabkan karena krisis moral dan tidak bisa mengamalkan
nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila. Sebagai konflik yang
terjadi di Cengkareng, Bekasi, Jawa Barat yaitu bentrokan antara Front Pembela
Islam (FPI) dengan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Pihak HKBP yang
terdapat dalam kasus penyegelan rumah milik jemaat HKBP yang disalahgunakan
menjadi gereja. HKBP merasa tidak terima atas keputusan pemerintah yang kurang
demokratis yang akhirnya terjadi bentrokan antara jemaat HKBP dengan warga
Muslim Bekasi. Sekilas kasus ini merupakan bentuk ketidakharmonisan antar umat
beragama, hal tersebut merupakan cermin lunturnya nilai-nilai dalam Pancasila.
Sebagai dasar negara Pancasila mempunyai keunggulan dalam mengatur kehidupan
masyarakat Indonesia, yang mengandung makna saling menghormati, menghargai,
menjunjung tinggi kebersamaan, dan sebagainya justru kenyataannya adalah
sebaliknya. Paham fundamentalisme yang hadir di tengah-tengah kehidupan
masyarakat Indonesia yang menyebabkan semua itu. Kerusuhan tersebut menyebabkan
berbagai fasilitas umum menjadi rusak dan identitas bangsa sebagai negara yang
menjunjung persatuan dan kesatuan sedikit demi sedikit sudah mulai luntur.
Pada 12 Februari 2010 lalu, Forum Komunikasi Kristiani
Jakarta (FKKJ) mengeluarkan data, yang menurut mereka dalam tahun 2007 ada 100
buah gereja yang diganggu atau dipaksa untuk ditutup. Tahun 2008, ada 40 buah
gereja yang mendapat gangguan. Tahun 2009 sampai Januari 2010, ada 19 buah
gereja yang diganggu atau dibakar di Bekasi, Depok, Parung, Purwakarta,
Cianjur, Tangerang, Jakarta, Temanggung dan Sibuhuan Kabupaten Padang Lawas
(Sumatera Utara).
Menurut data FKKJ tersebut, selama masa pemerintahan
Presiden Soekarno (1945 - 1966) hanya ada 2 buah gereja yang dibakar. Pada era
pemerintahan Presiden Soeharto (1966-1998) ada 456 gereja yang dirusak atau
dibakar. Pada periode 1965-1974, ada 46 buah gereja yang dirusak atau dibakar.
Sedangkan dari tahun 1975 atau masa setelah diberlakukannya SKB 2 Menteri tahun
1969 hingga saat lengsernya Soeharto tahun 1998, angka gereja yang dirusak atau
dibakar sebanyak 410 buah. Sebenarnya kasus yang terdapat di Bekasi tersebut
bukan merupakan kasus kebebasan beribadat dan beragama ataupun yang berbau
SARA, namun merupakan kasus tempat beribadat dan persoalan perijinan mendirikan
bangunan.
Hilangnya kepercayaan (trust) sebagai wujud modal sosial
dalam kehidupan masyarakat merupakan awal munculnya beberapa akibat adanya
paham fundamentalis dan kapitalis di Indonesia. Adanya kebutuhan yang mendesak
dan ketidakterbatasan masyarakat juga ikut serta dalam mewujudkan sebuah
konflik tersebut terjadi.
B.
Krisis Identitas dalam Kehidupan Berbangsa
Era globalisasi yang sedang melanda masyarakat dunia,
cenderung melebur semua identitas menjadi satu, yaitu tatanan dunia baru.
Masyarakat Indonesia ditantang untuk makin memperkokoh jatidirinya. Bangsa
Indonesia pun dihadapkan pada problem krisis identitas, atau upaya pengaburan
(eliminasi) identitas. Hal ini didukung dengan fakta sering dijumpai masyarakat
Indonesia yang dari segi perilaku sama sekali tidak menampakkan identitas
mereka sebagai masyarakat Indonesia. Padahal bangsa ini mempunyai identitas
yang jelas, yang berbeda dengan kapitalis dan fundamentalis, yaitu Pancasila.
Krisis identitas yang mulai tergerus itulah yang menyebabkan banyaknya
perbedaan diantara golongan dan berdampak timbulnya konflik ataupun permusuhan.
“Bangsa
Indonesia krisis identitas. Pluralisme yang menjadi alasan berdirinya NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia), terancam,” ucap Gus Dur, selanjutnya
beliau menjelaskan sejarah Indonesia sejak abad ke-18 telah menunjukkan kultur
bangsa dan semangat yang berkobar, antara lain adanya konflik yang berbau SARA
dan lain sebagainya. Meskipun demikian bangsa Indonesia pada tataran
selanjutnya masih banyak terjadi konflik yang berbau SARA, seperti konflik yang
terjadi antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Ahmadiyah.
Konflik tersebut menjadi konflik yang struktural, artinya
konflik tersebut berlanjut dan dengan adanya tindakan nyata dari kedua belah
pihak untuk saling memenangkan argumen mereka. Menurut MUI, pemerintah kurang
tegas dalam menangani masalah tersebut sehingga menimbulkan masalah baru yang
bersifat struktural dan berkelanjutan.
Faktor yang mendorong krisis identitas dalam mewujudkan kehidupan
berbangsa dan bernegara terdiri dari dua faktor yang mendasar, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang terjadi
karena adanya kegiatan-kegiatan didalam sub sistem tersebut, yaitu ketika masa
Orde Baru Pancasila dijadikan sebagai supported regime dan pada masa sekarang
menjadi favourable dalam kekuasaan. Selain itu lengsernya kekuasaan Soeharto
yang menandakan jatuhnya Orde Baru sebagai bentuk kekuasaan yang otoritarian.
Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor pendorong krisis identitas dari
luar substansi, salah satunya yaitu setelah kehancuran Perang Dingin
(1947-1991) antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat sehingga memperkuat
pertahanan keamanan di Amerika Serikat, sehingga Amerika Serikat disebut sebagai
polisi dunia. Namun pengakuat sebagai polisi dunia pada negara Amerika Serikat
tidak bisa dilakukan, hal tersebut dikarenakan jika Amerika Serikat menjadi
polisi dunia maka Amerika Serikat berhak dan berkewajiban untuk melindungi
semua negara di dunia ini. Adanya faktor-faktor tersebut Indonesia tidak lepas
dari dampaknya yaitu adanya krisis identitas bangsa, dimana paham-paham yang
muncul ditengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Ketika itu, banyak paham
yang masuk seperti globalisasi dan fundamentalis.
C.
Korupsi sebagai Wujud Krisis Identitas Bangsa
Adanya krisis identitas bangsa yang terjadi selama beberapa
dekade menyebabkan mentalitas bangsa menjadi tergerus dan menurunnya
kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Ketika krisis kepercayaan itu terjadi, pada masa kini masyarakat hanya
menjadikan Pancasila sebagai “buah bibir” saja tanpa bisa menghayati dan
mengamalkannya secara utuh. Munculnya paham fundamentalis dan kapitalis sebagai
kenyataan akan hal tersebut. Sebagai contoh adalah kasus korupsi
ditengah-tengah masyarakat. Kecenderungan tindak korupsi tersebut hanya memihak
dan menguntungkan satu pihak saja, sedangkan masyarakat sebagai korban dari
korupsi tersebut.
Adanya tindak pidana korupsi disebabkan karena lemahnya
moral individu, di samping itu, lemahnya penegakan hukum dalam menindaklanjuti
tindak pidana korupsi yang semakin merajalela. Perspektif ke depan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan UUD 1945 yang
memiliki dasar negara Pancasila, sehingga diperlukan kajian tentang konsepsi
sistem hukum di Indonesia. Hal ini dengan tegas dinyatakan pada Pembukaan UUD
1945 alenia IV dan pada Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa Pancasila
sebagai sumber segala sumber hukum, kedudukan Pancasila sebagai norma hukum
tertinggi yang dalam tata hukum global disebut ground norm atau staat
fundamental norm mengingat sesuai kenyataan sejarah (legal history) selama 60
tahun tidak goyah sebagai ideologi dan dasar negara hukum di Indonesia.
Berdasarkan tesis Hans Kelsen, kedudukan Pancasila dalam UUD
1945 berada pada tingkat tertinggi (Ilham Bisri: 2005). Hal ini berarti bahwa
Pancasila harus diletakkan sebagai kaidah dasar yang mempunyai arti sebagai
sumber dari segala sumber hukum serta menjadi dasar bagi berlakunya UUD 1945.
Penyimpangan dan implementasi dari sistem hukum yang berlapis seperti
dijelaskan pada gambar di atas adalah ketidakkonsistenan dalam interaksi dan
penerapan dari pasal tersebut yang dapat menjadi akar masalah korupsi di
Indonesia.
Perbuatan
korupsi telah digolongkan sebagai kejahatan internasional karena telah
ditetapkan melalui Konvensi Internasional (Atmasasmita, 2004: 40). Praktik
penegakan hukum dan peradilan yang timpang dengan rasa keadilan masyarakat
sebagai wujud terkikisnya nilai Pancasila yang berperan sebagai modal sosial
bangsa, contoh vonis bebas korupsi atau SP3 (Surat Perintah Pemberhentian
Penyidikan) lebih banyak di tingkat penyidikan dibandingkan kasus-kasus
pencurian ayam bahkan sering kali korban penganiayaan yang dihakimi oleh masa.
Kondisi seperti ini sangat bertentangan sengan rasa keadilan sebagai salah satu
nilai ideologi yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
dan peran Pancasila sebagai modal sosial.
Dalam kurun waktu 5 tahun (2004-2008) Dirtipikor dan WCC,
Bareskrim Polri mampu menangani kasus tindak pidana korupsi sebanyak 1.824
kasus, dan mampu diselesaikan sekitar 39,6% dan menyebabkan kerugian negara
sebesar Rp 9.986.129.025.963,66. Penyebab tindak korupsi tersebut jika di lihat
dari aspek sosial politik sangat berkaitan dengan masalah kekuasaan yang
diperoleh dengan aktivitas kegiatan dalam kepentingan politik. Ini menunjukkan
adanya nilai ideologi Pancasila sudah tidak dihiraukan lagi dalam menjalankan
roda pemerintahan. Sebagai modal sosial, tentunya Pancasila memberikan nilai
tersendiri, artinya Pancasila mempunyai nilai dan peran implementasinya dalam
penyelenggaraan negara. Ketika kepercayaan (trust) masyarakat mulai meredam
terhadap nilai dan makna Pancasila, maka disitulah titik awal dari munculnya
krisis identitas yang menyebabkan seseorang melakukan segala cara untuk
mendapatkan dan mempertahanlan kekuasaan dengan tidak menghiraukan lagi
nilai-nilai ideologi yang terkandung dalam Pancasila itu. Selain krisis identitas
yang bersifat moralitas dan kekuasaan, muncul kasus fundamentalis agama dalam
hal tindak pidana korupsi. Faktor pendidikan dikalangan keagamaan menjadi
sangat penting dan strategis dalam membangun moral, mental, dan karakter bangsa
yang peka dan anti korupsi.
D.
Fundamentalisme Agama sebagai akibat Lemahnya Pengamalan Nilai Ideologi
Pancasila
Agama merupakan pondasi hidup setiap manusia, tanpa adanya
agama manusia tidak bisa berpikir secara naluri dan tidak bisa membedakan mana
yang benar dan mana yang salah. Indonesia merupakan negara yang meyakini
keberadaan agama sebagai hal tersebut, ada 6 keyakinan yang terdapat di
Indonesia dan masing-masing keyakinan mempunyai dasar ataupun pedoman sesuai
dengan keyakinannya. Pancasila khususnya Sila ke-1 menyebutkan “Ketuhanan Yang
Maha Esa”, sudah jelas dan tidak diragukan lagi, setiap manusia pasti mempunyai
Tuhan dan percaya bahwa Tuhan itu ada. Keharmonisan dalam kehidupan
bermasyarakat yang berbeda kepercayaan merupakan wujud nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila dalam bentuk keharmonisan, kebersamaan, ketentraman, dan
sebagainya. Perbedaan keyakinan yang terdapat di dalam masyarakat itu merupakan
multikulturalisme bangsa Indonesia. Namun, tidak jarang hal tersebut justru
mendorong berbagai keributan/kerusuhan. Substansi kerusuhan tersebut sangat
sempit dan kecil, tapi bisa juga menjadi kerusuhan berskala besar dan sulit
untuk menemukan jalan tengahnya, dan bahkan bisa membawa nama masing-masing
kelompok tersebut dalam ranah konflik yang bersifat SARA (Suku, Agama, Ras, dan
Antar Golongan).
Krisis agama yang bersifat kerusuhan tersebut tidak hanya
terdapat pada masyarakat yang berbeda keyakinan, bahkan tak jarang dari mereka
yang mempunyaikeyakinan dan tujuan yang sama justru malah mengalami konflik
internal. Hal tersebut dikarenakan rendahnya jiwa nasionalisme bangsa, yaitu
jiwa yang mengikat kita pada satu rasa dan satu tujuan. Modal sosial terbentuk
karena trust (kepercayaan) masyarakat terhadap apa yang mereka dengar dan
lihat. Pancasila berperan penting dalam segala hal, begitu pula dalam
keagamaan. Fundamentalisme seperti yang telah dikemukakan oleh Karen Armstrong,
merupakan salah satu fenomena yang sangat mengejutkan pada abad ke-20. Begitu
mengerikan ekspresi dari fundamentalisme ini, peristiwa paling menghebohkan
dunia yang terjadi pada Semtember 2001 silam yaitu penghancuran gedung World
Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, kejadian tersebut dihubungkan
dengan fundamentalisme. Sementara di Indonesia terjadi peristiwa bom bunuh diri
di berbagai tempat seperti Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Kedutaan Besar
Australia di Jakarta, dan lain sebagainya. Motif dari peristiwa itu tidak jauh
dari fundamentalisme agama yaitu menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan
dengan dilandasi fanatisme agama yang berlebihan.
Fenomena yang disebut sebagai fundamentalisme agama tersebut
memang tidak dapat dilepaskan dari situasi sosial, politik, dan ekonomi
masyarakat kita. Kegagalan pemerintah mengatasi kemiskinan dan masalah-masalah
ekonomi selalu membuat masyarakat tergoda untuk melakukan kekerasan dalam
menyalurkan aspirasinya. Di samping itu, ketidaktegasan aparat juga turut
memberi andil bagi kelangsungan hidup organisasi yang identik dengan kekerasan
dalam mengemukakan pendapatnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa selama tidak ada
perubahan dari kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat dan selama
aparat tidak tegas dalam menindak kejadian-kejadian seperti itu, hal-hal itu
tetap akan terus berlangsung.
Perang Salib (1069-1291) merupakan perang antar umat Kristen
Eropa dengan umat Islam yang memperebutkan Yerussalem/Palestina. Perang Salib
berlangsung hinggga tujuh kali (Perang Salib VII tahun 1270-1291) status
Yerusalem/Palestina tidak berubah, yaitu tetap dikuasai umat Islam. Bahkan
kedudukan Barat/Kristen di Syira dan Palestina hilang. Keuntungan dari
peperangan itu, Barat menjadi mengenal dan memanfaatkan kebudayaan umat Islam
yang sudah lebih tinggi daripada yang mereka miliki saati itu. Selain itu,
hubungan dagang Asia-Eropa menjadi lebuh hidup dan berkembang.
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
didalam peristiwa pada masa reformasi tersebut salah satu nya yaitu tentang
fenomenal aktual dalam masyarakat. Dimana fenomenal yang terjadi dalam
masyarakat sejak reformasi yaitu :
- Pancasila dijadikan wujud modal sosial bangsa
- Krisisnya identidas dalam kehidupan berbangsa
- Korupsi menjadi wujud krisisnya identitas bangsa
- Lemahnya pengamalan nilai ideologi Pancasila yang mengakibatkan terjadinya fundamentalisme Agama
DAFTAR PUSTAKA
- Atmasasmitha. 2004. Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional. Bandung: Maju Mundur.
- Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia.
- Bisri, Ilham. 2008. Sistem Hukum Prudensia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
- Budiyanto. 2004. Kewarganegaraan untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga.
- Dhont, Frank, dkk. 2010. Pancasila's Contemporary Appeal: Re-legitimizing Indonesia's Founding Ethos. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
- Douglas, Stephen. 1974. Student Activism in Indonesia. Boston: The Litle, Brown and Company.
- Fukuyama, Francis. 1995. Trust, The Social Virtues and The Creation of Prosperity. New York: Free Press.
- Ir. Soekarno. 2006. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno (Penyunting: Floriberta Aning). Yogyakarta: Media Pressindo.
- Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi. Yogyakarta: Paradigma.
- Nurdjana, Igm. 2010. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: "Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum". Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar